Mari buka tahun 2018 dengan tulisan berbahasa Indonesia dan sedikit kontempelasi pribadi tentang peran gue sebagai seorang anak menahun lalu dan hingga sekarang.
Beberapa tahun lalu, gue sempet merasakan jadi anak broken home (berasa keren) karena orang tua gue sempet pisah kurang lebih dua tahun setelah akhirnya mereka memutuskan untuk rujuk. Di beberapa postingan murmuring blog ini, gue sempet bersumpah serapah tentang betapa buruknya mereka (orang tua gue) selama ini menjalani peran mereka sebagai orang tua. Sampai akhirnya gue bertemu dengan dua teman yang orangtuanya bahkan jauh lebih tidak bertanggung jawab.
Sebut saja namanya Delima. Temen gue yang satu ini udah yatim sejak dia remaja, bokapnya meninggal karena sakit dan meninggalkan istri dan tiga orang anak. Ibunya Delima hidup menjanda sampai sekarang dan belum berkeinginan untuk menikah lagi. Pekerjaanya sebagai agen asuransi tidak banyak membantu perekonomian keluarga. Maka Delima lah yang menjadi satu-satunya tulang punggung keluarga; membayar kontrakan rumah hampir sepertiga penghasilannya, meminjami ibunya uang untuk beli kebutuhan sehari-hari, dan kebutuha lainnya ketika tidak banyak orang yang bergabung jadi anggota asuransi.
Delima punya adik perempuan yang sekarang sedang kuliah di universitas negeri. Adik lelakinya tidak lulus sekolah dan tumbuh jadi pribadi yang pemalu dan minder (gue punya adik lelaku juga yang macem begini, ckck). Adik-adiknya belum ada yang bisa diandalkan untuk membantu meringankan beban ekonomi bersama.
Kadang Delima berkeinginan untuk segera menikah agar bisa menyerahkan kendali kepada ibunya sebagai kepala keluarga dan belajar untuk memegang tanggung jawab. Bagaimana tidak, penghasilannya habis untuk menghidupi keluarganya tanpa bisa menabung untuk masa depannya sendiri.
Teman gue yang lainnya bernama Dahlia. Dia tinggal bersama nenek dari keluarga bokapnya udah sejak kecil karena orangtuanya punya bisnis makanan, jadi agak kelimpungan untuk mengurusi anak kecil. Dahlia masih duduk di bangku kelas dua SMP ketika bokap dan nyokapnya memutuskan untuk bercerai setelah dikaruniai tiga anak. Ibunya menikah denga pria lain dan melanjutkan usaha makanan, sementara bokapnya bekerja serabutan di daerah Bogor. Kedua orang tua Delima tidak ada yang mengurusi anak-anaknya. Mereka semacam 'dititipkan' di rumah nenek tanpa bekal. Tidak ada nafkah pasti dari kedua orangtuanya, akhirnya Delima sebagai anak tertua menanggung semua kebutuhan adik-adiknya, bahkan membayar sejumlah uang kepada bibinya untuk jatah makan perbulan dan bayar listrik.
Jangankan uang, perhatian dan kasih sayang adalah salah satu hal langka yang mereka bisa dapatkan dari kedua orangtuanya. "Mereka mah SMS gue kalo ada butuhnya doang," ungkap Delima. Bahkan untuk menghadiri rapat sekolah adiknya dan mengambil raport, menjadi tugas Delima. Ia bahkan menetekan air mata di satu sesi curhat.
Gue merasa tertampar mendengar cerita mereka. Selama ini gue kurang bersyukur dengan apa yang gue punya; orang tua yang masih sehat dan sayang banget sama anak-anaknya. Betapa malunya gue pernah menuntut orang tua gue untuk nguliahin semua anaknya, beli rumah yang lebih layak buat tinggal, atau ngasih perhatian lebih jika hal sebelumnya gak bisa mereka penuhi.
Tapi kalo dipikir, orang tua mana sih yang gak pengen semua anaknya sukses, berpendidikan, atau menyediakan tempat tinggal yang layak untuk disebut rumah. Mereka sudah berusaha sepanjang hidup mereka, cuma ya.. memang rejeki yang dicukupkan hanya sebatas apa yang mereka punya saat ini.
Gue terlalu banyak melihat teman lain yang punya orang tua 'hebat', mampu memberikan kasih sayang dan mencukupi kebutuhan anaknya sekuat tenaga lalu membandingkan dengan apa yang gue punya. Lupa kalo di sisi lain kehidupan, ada banyak manusia yang bahkan gak kenal siapa orang tuanya.
Mungkin gue akan kena kutukan anak durhaka. Tapi gue yakin, sejahat apapun gue perah berprsangka buruk terhadap bokap dan nyokap, mereka akan selalu menerima dan memafkan. Seperti yang mereka lakukan akhir-akhir ini. Satu hal yang gue sadari; gak gampang jadi orang tua.
0 komentar:
Post a Comment