December 24, 2015

Si Kepala Mangkok: The Origin

Dulu waktu masanya #30HariBlogging saya pernah bikin tulisan pendek (banget) memperkenalkan Si Kepala Mangkok. Sebenernya tokoh ini adalah hasil iseng doodle di kelas Agama atau Kewarganegaraan yang membosankan. Gak heran kenapa saya gak pernah dapet nilai A di dua mata kuliah ini, lmao. Jadi sebenernya di tulisan saya ini bakal saya jelasin kenapa tokoh ini dinamai Si Kepala Mangkok.

Soalnya beberapa hari yang lalu saya liat ada lomba gambar fanart karakter komik yang bernama Jaso. Si Jaso adalah semangkuk soto yang punya tubuh layaknya manusia, atau seorang manusia berkepala seporsi soto, atau soto yang sudah bermutasi, atau penggemar soto yang bermutasi?

Entahlah.

Pokoknya si Jaso ini berwujud manusia, tapi uniknya, kepalanya itu adalah semangkok soto. Yang saya gak tau adalah varian rasa sotonya, apakah soto ayam, soto babat, atau soto ceker. Si Jaso juga sudah berhasil tenar lewat komik-komiknya.

Dan setelah saya perhatikan, ternyata Jaso juga bisa disebut Kepala Mangkok, karena kepalanya literary berbentuk mangkok. Tapi untungnya sang kreator sudah memberikan nama lain. Jadi nama Si Kepala Mangkok masih aman sentosa buat saya, hahahahaha.

Rencananya kemaren gambar ini mau saya jadikan gambar header, tapi gak jadi karena header-nya Minimal bangusan polos.
The Origin of Si Kepala Mangkok
Jadi begitulah kira-kira bagaimana Si Kepala Mangkok mempunyai model rambut itu. Semacam transformasi dari J-Pop ke K-Pop, don't you think? hahaha. Anyway, Si Kepala Mangkok mau di-hire jadi tokoh utama di buku cerita anak. Di sana dia berperan sebagai anak kelas dua SD bernama Jaka. Semoga project buku cerita anaknya cepat rampung dan menjadi jalan buat Si Kepala Mangkok meraih ketenarannya ya. Amiin.

Share:

November 18, 2015

Wallflower di Ruang Publik Digital

Ruang publik digital saya terjemahkan sebagai tempat di mana informasi mengenai diri kita (basically semua orang) bisa diakses lewat peranti digital oleh lebih dari satu orang secara bersamaan. Media sosial seperti Facebook, Twitter, Path, Line, Blackberry Messenger adalah ruang publik digital yang cukup populer di lingkungan saya.

Sebagai seorang introvert (yang ga terlalu suka nampang digital), saya jarang menebar foto, perasaan, atau kejadian yang saya alami ke ruang publik digital. Terutama semenjak di bangku kuliah. Perihalnya adalah karena saya lebih suka memperhatikan orang daripada diperhatikan.

Selain itu, saya sudah terlalu sering menyaksikan teman-teman saya yang hobi banget bentrok di sana. Ilustrasi: Si A pasang status, Si B ngerasa disindir. Si B pasang status, si C ikut-ikutan komentar. Si D pasang status, Si A dan si B bilang ke C kalo si D, E, dan F punya maksud lain. Duarrrr! Akhirnya terjadilah perang digital pertama. *tarak-dung-ces!

Terlebih, dengan mengamati postingan di akun sosial media seseorang, saya (seperti) sudah bisa membaca kepribadian orang tersebut, melihat caranya menyikapi satu-dua hal, dan seberapa dangkal atau dalam cara pandangnya. Menyadari hal itu, saya jadi agak insecure sama sosok diri saya yang terbentuk di benak orang-orang yang baca kicauan ga mutu saya, atau tulisan sampah saya di blog ini.

Namanya juga orang introvert, saya ga terlalu suka berada di bawah sorotan lampu, walaupun lampunya cuma lampu senter sepuluh ribuan yang nyalanya kicep-kicep. Eh, maksudnya?

Maksudnya gini: ruang digital yang saya punya masih lingkup regional lintas kecamatan dengan spektator yang sebenarnya ga peduli-peduli amat sama keberadaan saya, tapi tetep aja saya ngerasa risih. Berasa diperhatiin. *cih!


Kalo dikalkulasi, 85% kegiatan saya di sosial media untuk mengonsumsi postingan orang lain, 10% dipakai untuk berinteraksi aktif dengan teman-teman seperti membalas pesan, mengomentari foto, dan lainnya. Sisanya 5% saya gunakan untuk menunjukkan eksistensi, itu pun kalo saya lagi mengalami kejadian menarik dan lagi pengen berbagi.

Saya lebih memilih muncul di ruang publik digital dengan jumlah pemirsa yang minim. Misalnya di Swarm, Twitter, Google Plus, Tumblr atau di blog ini. Saya merasa aman jika tidak ada respon dari pernyataan yang saya buat. Trus, apa gunanya ada sosmed, Ki?! *dilempar ulekan sama Mark Zuckerberg*

Maka daripada itu, aplikasi sosial media yang memungkinkan orang berbondong-bondong nanggepin postingan saya macem Facebook atau Path, kurang menarik minat saya. Mungkin sebabnya karena saya merasa tidak punya cukup hal menarik yang perlu saya bagi ke ruang publik digital. Atau karena saya terlalu takut mengajak orang mengenal diri saya lebih jauh (secara digital).

Beberapa orang akan bilang saya anti-sosial. Tapi saya lebih senang menyebut diri saya sebagai seorang wallflower. Wallflower di ruang publik digital. Ada, tapi ga keliatan, hihihi. Maksudnya.. hantu? HAHA, failed.
Share:

October 19, 2015

Perpustakaan Aldiko-nya Uki #2

Halo! Kalo postingan perpustakaan saya yang pertama isinya tentang novel dengan tokoh anak sekolaan semua, kali ini ulasan novelnya ga jauh beda. Saya cenderung lebih suka baca novel remaja karena lebih banyak pembelajaran positif yang diangkat ketimbang isi novel dewasa. Novel remaja biasanya berkutat seputar isu kepercayaan diri, kenakalan remaja, permusuhan, tapi ujungnya ada penyelesaian. Sementara novel dewasa lebih banyak mengekspos adegan seksual yang menampilkan kebrengsekan tokoh pria dan kebodohan tokoh wanita yang terlibat di dalamnya, kemudian berakhir bahagia. Ini maksudnya genre young-adult ya, bukan dewasa dalam artian yang engga-engga. Ada satu-dua novel dewasa yang buat saya ceritanya lumayan bagus dan menarik. Tapi di sesi dua ini saya masih mau mengulas novel remaja. Cekidot.

  • A Really Awesome Mess oleh Trish Cook dan Brendan Halpin
Diceritakan lima orang anak bertemu di semacam-panti-rehab buat anak-anak bermasalah, Heartland Academy. Saya ga tau deh kalo di Indonesia ada ga ya yayasan atau tempat semacam ini? *penasaran*
Misalnya nih, tokoh Justin yang dimasukin ke panti ini sama bapaknya karena bawa perempuan yang baru kenal, dan kepergok sedang melakukan oral sex di rumahnya dan ketauan bapaknya. Si Justin baru yang baru 16 tahun ini dijebloskanlah ke Heartland Academy. Di sini Justin harus mengikuti beberapa sesi terapi, di antaranya kelas sexual reactivity dan kelas anger management.
Di Heartland Academy masing-masing pasien punya pembimbing yang berhak menentukan mereka naik level atau tidak. Oh, dan ada 6 level yang harus dicapai untuk keluar dari Heratland Academy. Level ini bisa turun, kalo pasien dianggap melakukan pelanggaran.
Keberadaan dan sistem di Heartland Academy ini sih yang bikin saya suka ngikutin ceritanya. Selain itu celetukan-celetukan Justin yang nyeleneh kadang suka bikin ngakak sendiri.
Narasinya dituturkan lewat dua sudut pandang; Emmy remaja perempuan penderita  anoreksia yang Pemarah dan Justin remaja laki-laki yang depresi. Di Heartland Academy mereka bertemu Jenny, Diana, Tracy, dan Chip, anak-anak lain yang dianggap punya masalah seriuas sama keluarganya sehingga dikirim ke Heartland Academy. Mereka berlima bertemu di kelas terapi angry management yang pada akhirnya membuat mereka justru akhirnya saling membantu ‘menyembuhkan’ satu sama lain. Oh, dan masuk Heartland Academy MUAHAL banget.

  • The Paparazzi Project oleh Kristina Springer
Ini soal tragedi yang terjadi di Kelas Komunikasi Interpersonal (Interpersonal Communications Class) yang berlangsung saat kelas itu bikin project buletin mingguan. Jadi semacam buletin gosip gitu sih, cuma artisnya anak kelas itu juga, bukan artis beneran.
Kelas yang terdiri dari 24 orang itu terbagi menjadi tiga peran; penulis berita, paparazi, dan selebriti masing-masing berjumlah delapan orang. Seorang paparazi dan seorang penulis berita akan bekerja sama mengerjakan laporan tiap minggunya.
Livvie Peterson, tokoh utama di cerita ini bertugas sebagai paparazi. Berbekal kamera pribadinya, ia akan membuntuti para selebriti dan mengambil gambar kegiatan yang mereka lakukan. Lalu Livvie akan menyerahkan foto tersebut kepada Chas Montgomery, rekan satu timnya. Trus.. ya begitulah, banyak skandal, walaupun sebenernya remeh temeh apalagi kalo bukan masalah percintaan *Meh!
Konflik muncul ketika Livvie iseng bikin blog anonim dan mempublikasikan project kelasnya itu, dan ternyata banyak yang baca. Sampai satu hari dia mempublikasikan foto super skandal di blognya. Hal itu membuat project buletin kelasnya agak berantakan. Tapi si Livvie ini akhirnya dapet pelajaran mengenai bagaimana media gosip Hollywood bekerja nampaknya.
Yang paling menarik buat saya dari novel ini adalah selipan-selipan laporan project yang ditulis oleh Livvie kepada Mrs. B, guru di kelas Komunikasi Interpersonal. Jadi di kelas itu setiap anak wajib nulis laporan per minggu tentang apa yang ditemukannya atau kesulitan atau hal menarik, selama mengerjakan project buletin ini. Tapi laporannya ga seresmi laporan yang suka saya buat di SMA, malah laporannya semacam nulis diary. Saya suka sistem pendidikan Amerika yang saya temukan di novel-novel, kebanyakan memang pake metode diskusi dan pendekatan personal, bukan dogmatis bahwa buku dan guru selalu benar.

  • The Girl Who Invented Romance oleh Caroline B. Cooney
Kelly adalah remaja putri yang punya orang tua yang selalu menunjukan sisi romantis. Ayahnya selalu ngasih hadiah kecil buat ibunya yang bikin Kelly punya impian suatu saat pengen seperti orang tuanya. Tergila-gila dengan hal-hal romantis, Kelly punya ide untuk bikin sebuah permainan. Kemudian Kelly memodifikasi permainan monopoli menjadi games of romace. Romance bahasa Indonesianya apa sih? Hal-hal romantis? Romansa? Games of Romance kalo diterjemahin jadi Permainan Romansa, gitu ya? *halah!
Permainan yang dibuat si Kelly buat project akhir kelas sosiologinya ini lumayan lucu sih. Jadi satu papan dimainkan oleh empat orang, dua orang perempuan dan dua orang laki-laki. Akan ada enam kartu berisikan nama perempuan dan enam kartu berisikan nama laki-laki.
Sama seperti monopoli, pemain akan menggerakkan bidak sesuai angka yang keluar pada dadu. Bedanya kotak-kotak ini berisi tahapan-tahapan PDKT yang ditempatkan secara acak. Misalnya; Go Bowling, Smile at Him/Her, Go on Date, Broken Heart, dsb. Pemenang dinyatakan menang kalo sampe di kotak Hapily Ever After yang paling ujung. Kalo bidaknya sampe di kotak Broken Heart, berarti dia harus ganti pasangan (ngambil kartu nama lain).
Gitu deh pokoknya, lucu sih ini ide ceritanya.

  • A Straight Line to My Heart oleh Bill Condon
Saya selalu suka sama cerita tentang keluarga yang complicated. Complicated dalam artian tidak umum. Kalo pada umumnya keluarga terdiri dari ayah ibu anak dan cenderung punya ikatan darah. Di novel ini, Tiff (pendekan dari Tiffany) tinggal bersama Reggie dan Bull. Jika dilihat dari kacamata tetangganya, Bull seperti bapak dan Reggie seperti kakek bagi Tiff.
Waktu melahirkan Tiff, ibunya meninggal dan dirawat oleh satu-satunya kerabat ibunya, bibi Debbie. Debbie berteman baik dengan pasangan Nell dan Reggie. Jadi ketika Debbie tidak bisa merawat Tiff karena bekerja, hak asuh Tiff akhirnya diberikan pada Nell dan Reggie. Sebelum menikahi Reggie Nell sudah menikah dengan pria lain dan memiliki seorang anak, yaitu Bull.
Jadi sebenarnya mereka; Reggie, Bull, dan Tiff adalah tiga orang asing yang sudah kehilangan orang-orang yang menghubungkan mereka sebagai keluarga, tapi mereka tetap menjadi keluarga yang saling sayang. Ah, so sweet pokoknya!
Saya suka sekali bagaimana secara emosional mereka saling terikat dan peduli satu sama lain. Ternyata ada loh orang-orang yang memberikan rasa sayang tanpa perlu ada embel-embel ikatan darah! *ngomong sama tembok* 


Dari novel yang saya baca, kebanyakan sudut pandang yang digunakan adalah sudut pandang tokoh perempuan. Jadi sekalinya nemu yang pake sudut pandang laki-laki saya suka exited sendiri. Maka dari  itu, tulisan saya berikutnya akan mengulas novel yang menggunakan sudut pandang tokoh laki-laki. *manhood mode: ON
Share:

October 10, 2015

Murid Pindahan

Gambar diambil dari Google, soalnya belum nemu foto saya yang  pake baju SD

Entah kenapa kemaren malem tiba-tiba saya keinget masa-masa sekolah dulu. Dulu banget waktu saya masih pitik, unyu-unyu dengan gaya rambut mangkok. Setelah saya ingat-ingat, ternyata saya punya masa sekolah yang tidak biasa. 

Sebagian besar teman saya selalu masuk dan lulus di sekolah yang sama, atau setidaknya mengalami pindah sekolah satu atau dua kali dalam hidupnya. Sementara sekolah saya selalu berpindah-pindah, mengikuti kemana bapak saya dipindahtugaskan. Lalu saya terinspirasi untuk membuat daftar sekolah yang pernah saya tumpangi. Sekaligus mengasah memori saya yang sudah mulai tumpul. *ngambil rautan pensil*

Pendidikan formal pertama saya berlangsung di SD Negeri Lama, Kecamatan Baguala, Ambon tahun 1997. Di sekolah ini saya hanya puas menjadi anak kelas 1, karena tahun ajaran berikutnya saya pindah sekolah. Hal yang paling saya ingat dari Negeri Lama adalah senam pagi rutin yang dilakukan sebelum masuk kelas. Seru! Saya paling suka kegiatan ini. 

Jajanan favorit saya adalah buah kedondong utuh yang sudah dikupas kulitnya, kemudian dibelah-belah hingga mekar menyerupai bunga, trus diatasnya ditaburi bumbu garam-pedas-manis. Waktu itu harganya masih 25 rupiah per buah dan uang jajan harian saya 300 rupiah (termasuk ongkos angkot). Hahaha, ternyata saya mengalami masa-masa uang 25 rupiah koin yang ada burung Cendrawasihnya pernah begitu berharga.

Dari SD Negeri Lama, saya pindah ke SDN 91 Waiheru sebagai anak kelas 2. Di sekolah ini saya menyadari kalo ternyata saya berbakat di bangku akademis, alias agak lumayan pinter. Bu Guru Mu'min (kalo saya ga salah inget nama) wali kelas sekaligus guru matematika, suka sekali mengajak saya mampir ke rumahnya yang dekat lingkungan sekolah. Saya sering membantu beliau bawain buku-buku anak kelas yang dikumpulin buat diperiksa, abis itu pulangnya saya suka dikasih permen atau cokelat. :D

Saya ga sendiri sih, kadang dibantuin sama satu orang teman yang saya lupa namanya. Tapi seringkali saya bertugas sendiri. Pokoknya jadi semacam asisten pribadinya wali kelas saya itu, padahal mah tukang bawain buku, hahaha. Tapi di kelas ini untuk pertama kalinya saya mendapat rangking dua dan mengerti bahwa itu adalah pertanda bagus. Setahun kemudian, keluarga saya pindah rumah lagi. Saya harus merelakan kenangan indah bersama permen-permen dan cokelat-cokelat dari Bu Guru Mu'min. *sedih*

Masuk kelas 3 saya kembali jadi anak baru. Kali ini di SDN 87 Air Kuning, Kecamatan Sirimau, dan masih di Ambon. Di sekolah ini saya menuntaskan kelas 3 dan kelas 4 caturwulan satu. Saya masih inget nama temen sebangku saya; Desi Maimunawati dan teman lain yang saya ingat namanya adalah Ira Abu Bakar. Di bangku kelas 4 ini untuk pertama kalinya saya suka sama anak laki-laki, kalo ga salah nama lengkapnya cuma satu kata, Adrian kah? Andrian kah? (ini sebenarnya info ga mutu sih) 

Saya berada di sana, ketika Ambon dilanda konflik keagamaan. Sempat waktu itu di SDN 87, kami sedang ditengah-tengah upacara bendera hari Senin ketika suara ledakan bom menggelegar menimbulkan getaran di permukaan tanah (semacam semi gempa bumi, tapi lebih singkat). Dalam sekejap hal itu mengacau kesakralan upacara pengibaran bendera. Ternyata gencatan senjata sedang berlangsung beberapa kilometer dari sekolah saya pada saat itu. Mendengar suara ledakan, semua siswa kalang kabut berlarian kembali ke kelas meninggalkan barisan upacara. Guru-guru akhirnya memulangkan kami ke rumah. Hari itu sekolah kami ditutup.

Menjauhi daerah konflik, orang tua saya kembali terbang ke Pulau Jawa. Mendarat di Jakarta, saya menghabiskan caturwulan dua kelas 4 saya di SDN 01 Pagi Tebet. Karena cuma empat bulan sekolah di sini, saya ga inget satupun nama teman sekelas saya. Yang saya inget cuma kejadian banjir selutut pas musim hujan (tahun 2001-2002), SD 01 Pagi punya gedung empat lantai, dan selalu ada senam pagi sebelum masuk kelas sama seperti di SD Negeri Lama.

Kelas 4 caturwulan tiga lagi-lagi saya pindah. Kali ini saya masuk sekolah islam di MI Sirojul Athfal, Cimanggis, Depok. Di madrasah ini saya menamatkan peran saya sebagai anak kelas 4. Sama seperti di sekolah sebelumnya, saya ga inget sama sekali nama temen saya di sini. Kecuali nama anak laki-laki yang dulu suka dijodoh-jodohin sama saya, kalo ga salah namanya Firman atau Firmansyah? Entahlah, saya sih berharapnya Afgansyah Reza. *eh ga gitu sih

Bisa dibilang masa-masa kelas 4 saya adalah masa yang paling ekstrim. Bayangin aja, selama satu tahun ajaran saya pindah sekolah tiga kali! Kalo ada rekor pindahan sekolah terbanyak, mungkin saya bakal ikutan, hahaha. 

Dari Depok, orang tua saya memutuskan untuk pindah ke kampung halaman mereka di Subang. Maka SD Negeri Setiabudi Sukahurip menjadi SD terakhir yang menampung saya paling lama di antara semua sekolah dasar yang pernah saya singgahi. Di sekolah ini saya mengenyam pendidikan kelas 5 sampai kelas 6. Nama-nama teman yang saya ingat lumayan banyak, ada Inggit Narulita, Wulan Sari, Ari Rokadi, Ringga Abeng, dan Eman Sulaeman. 

Oh, saya sempet ketemu sama Eman waktu saya di Bekasi! Kita ketemu ga sengaja di tempat futsal di Jalan Kartini. Dia yang pertama kali mengenali saya, mungkin karena wajah saya one of a kind. Ternyata Eman sudah dua tahun bekerja di kantor pemerintahan kota Bekasi. Saya mendengar dari Eman, bahwa teman-teman kami yang lain sudah menikah serta dikaruniai dua sampai tiga orang anak. Good for them.

Di sinilah masa sekolah dasar saya berakhir.

Masa SMP saya diawali dengan bismillah, soalnya saya masuk pesantren, lol. Orang tua saya mengirim saya masuk Mahad Al-Zaytun, Indramayu. Syarat dasar masuk sekolah ini saya mesti menghapal juz 30. Pada ga nyangka ya saya pernah hapal? Saya juga. 

Eniwei, di Zaytun saya cuma bersekolah satu semester, tapi sayangnya saya ga sempet ikut ujian akhir semester karena bapak saya keburu narik saya keluar akibat isu sesat yang menyerang negara api pesantren tersebut. Alhasil saya ga dapet raport resmi dari Zaytun dan mesti menunggu enam bulan ke depan untuk mendaftar ulang SMP. Itulah megapa saya tertinggal setahun dari teman-teman seangkatan saya yang semestinya. Setidaknya masih lebih terhormat sih daripada tinggal kelas.

SMPN 4 Kalijati (Sekarang SMP 2 Dawuan) menjadi SMP di mana saya dapet raport biru pertama saya. Di SMP ini saya menyelesaikan masa-masa kelas satu, tepatnya di kelas 1F. Saya punya banyak teman di sini, ada Rita Puspita, Debi Andriana, Petra, Roger, dan lainnya. Di sekolah ini saya merasakan pengalaman pertama dan terakhir kalinya dikerjain pake terigu, telur dan siraman air waktu saya ulang tahun yang ke 13. Nampaknya saya sangat digemari anak satu kelas. Haha!

Di tahun kedua masa SMP, saya dikirm ke SMP YAD (Yayasan Ahmad Djueni) di Sukabumi. Di sekolah ini saya cuma ngabisin separuh masa kelas 2. Seperti biasa, saya ga inget nama teman-teman kelas saya kecuali Mas Ucup, Aris, Ka Imron, Kikim, dan Iqbal karena kami tinggal di asrama yang sama bersama dua orang kakak saya.

Kelas 2 semester dua, orang tua saya pindah dari Subang ke Bogor. Lalu saya dan kedua kakak saya ditarik dari Sukabumi. Saya melanjutkan kelas 2 saya di SMP PGRI 1 Cibinong, nama bekennya V-gho (baca: pe-go). Diambil dari kata PGRI-Golf, maksudnya sekolah PGRI yang ada di Jalan Golf. Buat saya ini semacam sabotase sih, soalnya di Jalan Golf ada tiga sekolahan PGRI, mwahahaha! Saya punya banyak teman di sini. Beberapa masih menjalin komunikasi baik dengan saya sampai sekarang.

SMA Plus PGRI Cibinong, sekolah ini adalah sekolah yang paling saya setiain. Baru kali ini saya mendaftar masuk sekolah dari kelas 1 dan lulus di sekolah yang sama *terharu* makannya banyak beut kenangan dan tentunya lebih banyak kenalan. Nama beken SMA Plus PGRI Cibinong adalah Pesat, singkatan dari PGRI Satu. Padahal ga ada angka satunya juga sih, mungkin dulunya ada kali ya? Entahlah.

Jadi sebenernya, inti dari cerita ini adalah, saya sudah sangat lihai jadi murid pindahan dan sudah terlatih memperkenalkan diri di depan kelas sebagai murid baru. Setidaknya sebanyak 7 kali. "Halo, nama saya Mulki Salam, saya murid pindahan dari sekolah anu. Senang berkenalan dengan kalian." Begitulah kira-kira kalimat yang saya ucapkan tiap kalinya. 

Kemudian mata-mata mereka akan memperhatikan gerak-gerik saya selama seminggu, dua minggu, sebulan, sampai saya dirasa cukup familiar dengan mereka. Pada dasarnya saya adalah anak yang pemalu, tapi karena keseringan maju ke depan kelas, diperhatikan, dan mesti berbaur dengan lingkungan baru, saya jadi semacam punya kemampuan beradaptasi yang baik. Terutama saat menerima perbedaan. 

Terasa sekali saat saya bersekolah di Ambon dan berbaur dengan teman-teman berbeda suku dan agama. Kesempatan menjadi kaum minoritas mengajarkan saya nilai-nilai moral dan toleransi yang tidak mampu diajarkan lewat kata-kata. Kadang pengalaman mengajarkan hal-hal berharga namun tersembunyi, tersirat dan membekas di dalam hati. 

So guys, kalo dulu pas SD atau SMP kalian pernah ketumpangan anak baru barang 4 sampai 6 bulan dan tiba-tiba setelah ujian akhir caturwulan atau ujian semester anak barunya menghilang, bisa jadi itu saya, hehe. Mungkin kita bisa rencanakan sebuah reuni?
  
Saya pernah coba iseng cari-cari nama temen SD saya yang di Ambon lewat Facebook. Berbekal ingatan remang-remang, akhirnya tak ada satupun yang berhasil saya temukan. Ada sih yang namanya mirip-mirip, tapi saya udah lupa muka masa kecilnya. Seandainya ketemu pun, saya yakin mereka udah ga inget sama saya. Saya kan cuma teman sekelebat. Kami hanya berteman di ruang dan waktu tertentu. Ketika ruang dan waktunya hilang, kami kembali menjadi orang asing.

Jadi ketika Lina, teman saya berkabar bahwa hari ini dia menghadiri pernikahan teman TK-nya, saya amazed. Terus self-talking; ada ya orang yang masih berhubungan baik sama temen TK-nya? Soalnya bahkan temen SD kelas 3 saya aja ga ada satupun yang saya kenal sampe sekarang, apalagi temen TK! Iyalah, saya kan TK-nya di rumah, dengan guru super galak, ibu saya sendiri XD

Itulah kenapa saya tidak pernah punya sahabat masa kecil ataupun sahabat masa besar (eh, kok agak aneh ya bahasanya). Karena teman-teman saya datang dan pergi, mengisi ruang dan waktu tertentu lalu menghilang. Tapi ada sih beberapa yang tidak pernah pergi, mereka selalu mengisi ruang-ruang di dalam hati *ihiy! dan mengisi ruang-ruang pada beranda-beranda media sosial saya :D

How's your school-hood, anyway? Saya harap masa sekolah kalian semenyenangkan milik saya :)

*Tulisan ini didedikasikan untuk teman-teman masa singkat yang terlupakan.
Share: