November 18, 2015

Wallflower di Ruang Publik Digital

Ruang publik digital saya terjemahkan sebagai tempat di mana informasi mengenai diri kita (basically semua orang) bisa diakses lewat peranti digital oleh lebih dari satu orang secara bersamaan. Media sosial seperti Facebook, Twitter, Path, Line, Blackberry Messenger adalah ruang publik digital yang cukup populer di lingkungan saya.

Sebagai seorang introvert (yang ga terlalu suka nampang digital), saya jarang menebar foto, perasaan, atau kejadian yang saya alami ke ruang publik digital. Terutama semenjak di bangku kuliah. Perihalnya adalah karena saya lebih suka memperhatikan orang daripada diperhatikan.

Selain itu, saya sudah terlalu sering menyaksikan teman-teman saya yang hobi banget bentrok di sana. Ilustrasi: Si A pasang status, Si B ngerasa disindir. Si B pasang status, si C ikut-ikutan komentar. Si D pasang status, Si A dan si B bilang ke C kalo si D, E, dan F punya maksud lain. Duarrrr! Akhirnya terjadilah perang digital pertama. *tarak-dung-ces!

Terlebih, dengan mengamati postingan di akun sosial media seseorang, saya (seperti) sudah bisa membaca kepribadian orang tersebut, melihat caranya menyikapi satu-dua hal, dan seberapa dangkal atau dalam cara pandangnya. Menyadari hal itu, saya jadi agak insecure sama sosok diri saya yang terbentuk di benak orang-orang yang baca kicauan ga mutu saya, atau tulisan sampah saya di blog ini.

Namanya juga orang introvert, saya ga terlalu suka berada di bawah sorotan lampu, walaupun lampunya cuma lampu senter sepuluh ribuan yang nyalanya kicep-kicep. Eh, maksudnya?

Maksudnya gini: ruang digital yang saya punya masih lingkup regional lintas kecamatan dengan spektator yang sebenarnya ga peduli-peduli amat sama keberadaan saya, tapi tetep aja saya ngerasa risih. Berasa diperhatiin. *cih!


Kalo dikalkulasi, 85% kegiatan saya di sosial media untuk mengonsumsi postingan orang lain, 10% dipakai untuk berinteraksi aktif dengan teman-teman seperti membalas pesan, mengomentari foto, dan lainnya. Sisanya 5% saya gunakan untuk menunjukkan eksistensi, itu pun kalo saya lagi mengalami kejadian menarik dan lagi pengen berbagi.

Saya lebih memilih muncul di ruang publik digital dengan jumlah pemirsa yang minim. Misalnya di Swarm, Twitter, Google Plus, Tumblr atau di blog ini. Saya merasa aman jika tidak ada respon dari pernyataan yang saya buat. Trus, apa gunanya ada sosmed, Ki?! *dilempar ulekan sama Mark Zuckerberg*

Maka daripada itu, aplikasi sosial media yang memungkinkan orang berbondong-bondong nanggepin postingan saya macem Facebook atau Path, kurang menarik minat saya. Mungkin sebabnya karena saya merasa tidak punya cukup hal menarik yang perlu saya bagi ke ruang publik digital. Atau karena saya terlalu takut mengajak orang mengenal diri saya lebih jauh (secara digital).

Beberapa orang akan bilang saya anti-sosial. Tapi saya lebih senang menyebut diri saya sebagai seorang wallflower. Wallflower di ruang publik digital. Ada, tapi ga keliatan, hihihi. Maksudnya.. hantu? HAHA, failed.
Share: